Oleh Pendeta William Alexander, S.Si

Sering kali kita mendengar bahwa yang pemuda gereja adalah tulang punggung gereja. Kalau tidak ada pemuda, maka gereja tersebut tidak akan bisa berlanjut. Pemuda menjadi penerus dan penjaga eksistensi gereja. Namun, sadarkah kita bahwa pemuda adalah bagian vital bagi kehidupan bergereja? Gereja harusnya khawatir bila pemuda tak lagi nampak dalam persekutuannya. Gereja harusnya cemas ketika bangku-bangku di ruang ibadah hanya diisi oleh para lansia dan ibu-ibu serta bapak-bapak saja. Kekhawatiran dan kecemasan gereja juga seharusnya diketahui oleh para pemuda gereja.

Pemuda gereja harus tahu bahwa mereka dibutuhkan dan mereka memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan sebuah re-generasi di dalam tubuh organisasi gereja. Misalnya, dalam organisasi gereja dikenal penatua atau majelis jemaat. Penatua bukan lagi diperuntukkan bagi mereka yang sudah tua dan tidak memiliki kesibukan lagi. Bahkan penatua sendiri memiliki singkatan yang mengejek ketika diisi oleh kebanyakan orang-orang yang sudah penat dan tua (penatua). Justru di tengah kesibukan pekerjaan dan pergaulan muda-mudi yang merupakan tantangan bagi para pemuda untuk mau melayani Tuhan di gereja. Memang dalam organisasi gereja dibutuhkan orang-orang yang sudah berpengalaman, apalagi dalam kaitannya dengan peran penatua atau majelis jemaat, tidak serta-merta semua posisi penatua dan majelis jemaat diisi oleh kawula muda. Ada pertimbangan aspek yang lainnya. Namun yang terpenting ialah semangat mau melayani dan memimpin dalam diri pemuda gereja harus dibangun.

Banyak orang muda yang merasa diri tak cakap, tak layak, dan belum mampu untuk melayani Tuhan, untuk memimpin sebuah organisasi di gereja. Tetapi mari kita lihat, bahwa Alkitab pun mencatat bahwa banyak kawula muda yang dipilih menjadi pemimpin dan pelayan Tuhan. Musa merasa tak cakap, bahkan ia merasa tak layak, tetapi Allah mau memakainya untuk membebaskan bangsa Israel dari tanah perbudakan. Raja Yosia, masih sangat muda ketika menjadi raja. Namun, kemudaannya itu tidak menjadi alasan bahwa ia tidak dapat melakukan hal yang baik dan benar di hadapan TUHAN dan bagi bangsanya. Yeremia, merasa dirinya masih muda dan tak pandai bicara, tetapi Tuhan mengutusnya menjadi penyambung lidah Tuhan. Jadi, masihkah kita takut memimpin dan berorganisasi di gereja karena kita masih muda dan tak layak? Justru ketika kita merasa tak layak melayani Tuhan, maka Tuhan yang akan melayakkan kita untuk melayaninya. Mari kita sebagai pemuda mau berperan secara aktif membangun kehidupan gerejanya.

Bangkit Pemuda Gereja! Bangkit Gereja Tuhan!

Oleh Pendeta William Alexander, S.Si

"Maaf !" Sebuah kata yang mudah sekali diucapkan oleh mulut kita. Maaf! Sebuah tindakan yang sulit sekali untuk dilakukan secara tulus. Maaf! Sebuah kata yang tidak memiliki arti tanpa tindakan nyata untuk meminta maaf dan memaafkan. Seringkali kita tanpa sadar mengucapkan kata maaf, yang sebenarnya memiliki arti yang mendalam.

Maaf dalam KBBI berarti membebaskan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan; ungkapan permintaan ampun atau penyesalan; dan ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu. Kata maaf memilik makna yang mendalam. Jika kita berbuat salah dan meminta maaf, apakah kita tidak akan melakukannya lagi? Jika kita telah memaafkan seseorang yang bersalah kepada kita, apakah dengan tulus kita membebaskan dia dari kesalahannya. Ada ungkapan yang mengatakan, “Saya bisa memaafkan anda, tetapi apa yang sudah anda perbuat kepada saya tidak bisa saya lupakan.” Apakah itu yang dimaksudkan dengan memaafkan? Atau ketika kita meminta maaf kepada seseorang, lalu kita melakukan kesalahan itu lagi, apakah maaf itu masih pantas kita dapatkan?

Sebagai pengikut Kristus, pemberian maaf kepada orang lain itu adalah harga mati. Mengapa? Dalam Doa Bapa Kami, kita memohon kepada Allah untuk diampuni segala kesalahan kita (meminta maaf kepada Allah) karena kita juga mengampuni orang yang bersalah kepada kita juga (kita juga memberi maaf kepada orang lain). “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (Mat. 6:14-15).

Oleh Pendeta William Alexander, S.Si

Maksud judul di atas bukan menyebut salah satu merek biskuit lho... Waktu yang baik, itu maksudnya. Orang sering menyebut waktu yang baik untuk melakukan suatu kegiatan, pernikahan misalnya. Orang Jawa mengenal istilah hari baik atau tanggal baik untuk menentukan tanggal pernikahan. Yang lain pun meyakini ada waktu yang baik untuk bertanam, untuk berlayar, untuk berpacaran, untuk berjalan-jalan, dan sebagainya.

Jika ada waktu yang baik, berarti ada juga waktu yang buruk? Bisa jadi. Waktu yang buruk adalah ketika situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk melakukan sesuatu tersebut. Penulis kitab Pengkhotbah juga mengatakan, “...segala sesuatu ada masanya... ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal... menyembuhkan... merombak...” dst (Lih. Pkh. 3:1-8).

Bagaimana halnya dengan kegiatan mengabarkan Injil? Apakah dalam hal ini good time or bad time berlaku? Rupanya inilah kegiatan yang tidak mengenal istilah waktu baik atau tidak baik. Paulus menegaskan hal itu dalam 2 Timotius 4:2, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya...” Memberitakan Firman Tuhan yang adalah Kabar baik (Injil) merupakan kegiatan yang harus dilakukan semua orang percaya di segala tempat, dalam segala keadaan, di segala waktu. Entah kita sedang senang atau berduka, entah sedang mengalami kemujuran atau kemalangan, entah sedang di atas angin atau limbung diterpa angin, Injil harus terus diberitakan. Stefanus adalah salah satu contoh pelakunya.

Sebagai pengikut Yesus, Stefanus secara konsisten memberitakan Injil di mana pun ia berada, dalam keadaan apapun. Ketika semua hal berjalan lancar dan tenang, ia memberitakan Injil (Kis.6:7-8). Demikian juga ketika ia disudutkan dan dianiaya, tetap Injil diberitakannya. Ia memberitakan Injil melalui pengajaran, juga melalui sikap dan tindakan nyata: mengampuni orang yang menganiaya bahkan membunuhnya (Kis. 7:54-8:1a). Baginya, selama hayat masih di kandung badan, itulah kesempatan untuk memberitakan Injil. Tepat seperti yang diteladankan Kristus.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mempergunakan setiap kesempatan (good time or bad time) untuk memberitakan Injil?